Rabu, 11 Mei 2016

Sami’na Wa Ato’na (Sincerely, Fatih)

0


Oleh : Alfiah Nur Hadist (Mahasiswa Program Keahlian Supervisor Jaminan Mutu Pangan Diploma IPB Angkatan 51)

Mashaa Allah.. Senyumannya, gumamku dalam hati.
“iya, jadi Magnolia warbler itu jenis burung yang memilih pasangan dengan cara memilih suara jantan yang terindah,” Fatimah menjelaskan dengan nada riang.
“Oh gitu, jadi betinanya selektif juga ya,” balasku dengan wajah ceria.
Angin yang bertiup dari cela jendela menambah kesan damai dan sunyi ruang kelas yang saat itu hanya dihuni kami berdua, Aku dan Fatimah. Langit seakan merayu kami untuk tidak terjaga sore itu. Berbagai strategi kami siasati agar tidak tertidur di ruangan ini. Iya, kami tidak boleh tertidur karena tiga hari lagi olimpiade biologi akan terselenggarakan. Namun, pada akhirnya olimpiade ini tidak hanya berkesan pengalaman belajar untuk berlomba tetapi juga meninggalkan kenangan manis untuk hidupku.
Begini ceritanya.
Oh iya, sebelumnya aku akan memperkenalkan diriku. Namaku Fatih Abdullah, teman-temanku selalu memanggilku Fatih, tetapi tidak sering mereka memanggilku Abdul. Sekarang aku sedang menjalani studi di suatu perguruan tinggi negeri di Bogor jurusan Biologi.
Aku merupakan lelaki yang tak mudah jatuh cinta. Jujur saja sampai saat ini perempuan yang pernah ku cintai selain ibuku, adikku, dan nenekku, hanya dua orang yaitu Indri teman SDku dan Fatimah. Cerita ini bukan hanya sekedar cerita cinta anak-anak remaja pada umumnya, ceritaku ini berbeda.
Kala itu bus sekolah bergoyang ke kanan dan kiri menggoncang setiap makhluk yang ada di dalamnya. Temanku, Risky dan Surya mereka malah asik bermain tebak-tebakan rumus matematika, mereka tidak menyadari manusia di samping mereka sudah membiru berkat goyangan heboh bus ini. Mulut dan hidungku sedang kritis menahan bau dan rasa ingin muntah karena si lambung yang sedang giat memproduksi asam. Akhirnya Risky sadar, aku merasa bebanku akan diringankan.
“Kamu kenapa, Fatih? Kamu mabok?,” Ucap Risky dengan suara agak keras. Pertolongannya yang kukira membantu malah membuatku semakin malu.
“Aah Cuma pusing aja kok,”
“iih serius Fat, tanganmu udah dingin loh?,” Jelas Surya, yang malah memperkeruh harapanku untuk mengabaikan rasa mabukku.
Seketika suara perempuan yang berasal dari bangku di depanku akhirnya menanggapi kekisruhan ini.
“Kamu pusing, Fat? nih aku ada minyak kayu putih, siapa tahu membantu. Kalo pusingnya susah hilang, coba bayangkan yang kamu senangi saja, seperti naik mobil tanpa atap mungkin, hehe,” Fatimah berbicara sambil tersenyum dan menyodorkan tangan yang sedang memegang minyak kayu putih.
Tuh kan, lagi-lagi senyuman itu menyejukkanku.
Rombongan kami pun sampai di tempat olimpiade berlangsung. Antrian masuk sudah berbanjar meliuk seperti ular yang ingin masuk ke sarangnya. Aku yang masih agak terhuyung mabuk segera mendaftar ulang dan masuk ke ruang ujian. Ujian pun berlangsung dengan lancar, tetapi untuk hasilnya aku serahkan seluruhnya kepada Allah.
Setahun telah berlalu dengan cepat, saat ini aktifitasku yang terpenting hanya makan, tidur, beribadah (termasuk liqo, dsb), latihan taekwondo dan belajar karena seminggu lagi ujian nasional yang menghabiskan 70% energi di otakku.
Ujian nasional pun usai. Usainya ujian dapat ku analogikan seperti jantung yang dapat berdetak kembali, meletus membuat muncratan bagai kembang api, dan terbebas dari berbagai belenggu nurani. Walaupun waktu telah menyelesaikan segala urusanku begitu saja, masih ada sumbatan kecil yang tak mampu kulepaskan dari jantungku. Sepanjang malam kupikirkan hal itu.
“Fatimah, kamu besok mau ke perpustakaan Smart ngga? Aku mau sekalian ngembaliin buku,” Ku sms Fatimah. Mungkin ini sering dikatakan anak-anak modern jaman sekarang sebagai ‘m o d u s’.
“Hhm, pengen sih tapi aku sama Lia mau pergi makan bareng,”
Yah, sirna sudah harapanku.
Keesokan harinya aku pergi ke sekolah menemui teman-temanku, Surya dan Risky. Mereka memang teman yang selalu berbagi denganku. Lebih tepatnya berbagi anime. Tak kukira, ternyata Fatimah hari itu juga datang ke sekolah tapi dengan wajah yang cemberut.
“Loh kok kamu ngga pergi sama Lia?,” tanyaku sambil memainkan game di Hp Surya, berpura-pura agak dingin.
“Hhm, kamu pengen aku pergi ternyata!,” Jawabnya
“Eeh bukan, maksudku kenapa kok kamu cemberut?,” seketika aku salah tingkah dan membanting setir pertanyaanku.
“Hari ini Lia ngga bisa pergi makan bareng, jadi aku sia-sia datang ke sekolah. Kamu jadi ke perpus Smart, Fat?,”
“Hhm jadi, emang kamu mau ikut?,” Lagi-lagi aku berusaha menahan ekspresiku. Risky dan Surya sedang cengengesan menunggu waktu yang tepat untuk ngecengin aku.
“Hayoo, aku juga masih ada buku yang belum dikembalikan.” Jawab Fatimah.
Kami pun pergi ke perpustakaan. Risky dan Surya melayangkan cengan mereka yang sedari tadi dibidiknya. “CIEEEEE”
Diperpustakaan, sangat sedikit kami berbicara satu sama lain. Akhirnya kami pulang. Awalnya kupikir ini waktu yang tepat untuk memberitahukannya perasaan ku tetapi hari ini begitu dingin. Sewaktu di jalan, kami malah bertambah akrab dan banyak melakukan perbincangan. Fatimah bercerita tentang ibunya yang dulu punya banyak pacar, tidak seperti dirinya yang tidak pernah.
“Emang kamu mau pacaran juga Fat?” Tanyaku. Karena kami memiliki nama panggilan yang sama, aku merasa seperti menanyakannya kepada diriku sendiri.
“Hhm, aku masih ngga tau, kalo kamu?”
“Aku mau kalo sama kamu.” Tanyaku. Aduh, bodohnya aku.
“Haha.. aku pikir kamu bingung jawabnya, ternyata cepet banget. Kamu sugoi (hebat) ya bercandanya.”
“Aku lagi ngga bercanda kok, Fat. Kamu mau ngga?” Aku semakin meyakinkan pertanyaanku.
  “Hhhm.. pacaran ya? Bukannya pacaran itu dosa? Selama ini aku memiliki kesan, kalau orang pacaran itu tidak baik.” Jawabnya dengan nada perlahan.
“Oh gitu, gimana kalo kita ubah namanya jadi bukan pacaran tapi kontrak. Kaya yang di anime Chuunibyou, mereka dekat tapi ngga pernah sentuhan ataupun ngomong kaya orang pacaran jadi terkesan seperti sahabatan. Ya walau perasaan mereka lebih dari sahabat.” Jawabku memberi solusi.
“Hhm oke, teman kontrak”.
Aaaaaa, lega rasanya hati ini. Seketika bunga-bunga merah muda dan jingga bertaburan ke arah wajahku. Angin pun berusaha meniupkannya semakin lembut. Ya, Walaupun hanya seperti sahabat, tapi aku sangat senang. Aku akan selalu   berusaha untuk menjadi sahabat yang bisa dibanggakan. Ganbarre-kudasai!
Kami menjalani hari-hari dengan selalu berkomunikasi satu sama lain. Makan bersama, nonton film, nonton anime, belajar bermain gitar di pinggir danau, bercerita-cerita apapun, dsb. Semua itu ku rasakan sangat nyaman sampai suatu ketika aku bertanya pada murabbi-ku.
“Kak kalo kita dekat sama akhwat, tapi kita ngga pernah sentuhan atau pun ngomong kaya pacaran, itu gimana ya kak?” Tanyaku penasaran. Ku pikir lebih baik ku tanyakan dari pada tidak tahu sama sekali.
“Dekatnya seperti apa? Sesungguhnya jika ikhwan dan akhwat yang bukan mahramnya berduaan tanpa ada mahram si akhwat tersebut, itu namanya khalwat dan hukumnya haram. Memang semua itu awalnya kita anggap biasa saja dan bukan hal yang serius. Tapi tahukah kalian? Bahwasannya neraka itu dipagari syahwat dan kesenangan sedangkan surga dikelilingi hal-hal yang tidak disukai (HR. Bukhari). Semua hal-hal kecil yang salah jika disepelekan akan semakin menggunung dan akan menimbulkan yang namanya fenomena gunung es. Zina dikira Cuma berasal dari hal yang tiba-tiba terlaksana, bukan! sebenarnya zina berasal dari berdua-duan, berkomunikasi terus menerus yang sebenarnya kurang penting. Bahkan rasulallah pernah berkata, ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seseorang wanita yang tidak halal baginya (HR. Ath-thabrani) sebegitunya rasul memberi peringatan waspada bagi umatnya untuk menjauhi zina ” Jawabnya.
Oh begitu. Sesak memang mendengarnya tetapi aku mau tidak mau harus mendengarnya. Iya mentoring ini hampir tidak pernah sama sekali memberi hal yang buruk bagiku. Setiap keluhanku selalu dijawabnya dengan merujuk Al-Qur’an dan Hadits. Nasehat-nasehatnya bukanlah omong kosong yang tiada arti. Tetapi apa aku mampu mengakhiri ini semua? Dan bagaimana caranya?. Ku pikir Fatimah juga telah menyakan hal ini kepada murabbi-nya.
Keesokan harinya merupakan pengumuman SNMPTN. Tak sabar aku ingin menanyakan hasil SNMPTN Fatimah. Yang ku tahu ia memilih prodi yang cukup sulit.
“Assalamualaykum, gimana Fat Kabar SNMPTN kamu? Sehat?” Tanyaku melalui sms.
“Hhm.. Alhamdulillah, Fat. Tidak diterima. Walaupun agak sedih tapi ya mau bagaimana lagi. Kamu gimana, Fat? Wah pasti kamu diterima, secaraa nilai UN biologi kamu 9,5 tertinggi satu sekolah.”
“Iya Alhamdulillahirabbil’alamiin. Diterima, Fat. Kamu sih kenapa ngga milih Biologi aja, pasti kamu bakal diterima juga.” Jawabku mencoba untuk menghibur.
“Belum tentu, Fat. Allah kan sudah menentukan jalan setiap hamba-Nya. Kamu memang hebat di bidang Biologi dan Allah mungkin berencana membuat diri kamu semakin baik di bidang itu. Allah suka ketika kamu berusaha dengan belajar dan mengagungkan kekuasaan-Nya ketika kamu belajar Biologi. Sedangkan aku, mungkin itu bukan jalan yang terbaik. Itu bukan hadiah yang pantas untukku dan bukan pula ujian yang akan mampu aku kuasai. Mungkin saja kalau aku masuk sana, aku akan menjadi sombong atau kufur nikmat. Naudzubillah. Jadi semangat ya, anak IPB, hhehe” Di jawabannya tersurat kata-kata riang nan penuh motivasi sekaligus tersirat hati yang sedih.
“Oke siap, Fat. Kamu juga semangat ya. Aku yakin Allah juga sayang sama kamu.” Jawabku.
Keesokan harinya aku mengantar teman liqoku, Wahyu menemui temannya. Kebetulan temannya adalah temanku juga saat SMP. Teman SMPku ini wanita-wanita yang sekarang telah menjelma sebagai wanita solehah berkerudung panjang. Iya begitulah kelihatannya. Kami sedikit berbincang-bincang masalah agenda kegiatan organisasi temanku dan cerita-cerita hidup yang telah kami lalui.
“Gimana kabarnya, Fat? Sudah lama tidak betemu.” Tanya Rina, seorang gadis berkulit putih yang dulunya ku kenal sebagai gadis berkulit cokelat.
“Iya, Alhamdulillah luar biasa. Kamu gimana?” Jawabku.
“Ehem.. sebenarnya Fatih lagi patah hati, haha. Sedang dilema memilih tetap dekat dengan wanita yang ia cintai atau memilih menjauhinya.” Wahyu memotong dengan nada meledek. Akupun mendelik melihat ke arahnya.
“Oh.. aku Alhamdulillah baik. Wah ternyata Fatih ini perkembangannya pesat juga ya. Wanita yang kamu dekati itu baik? Bagaimana agamanya, Fat?” Pertanyaan ini membuat diriku semakin ‘gagal move on’
“Iya baik, Rin. Cerdas, agamanya bagus, baik, manis apa lagi senyumannya. Itu kata Fatih waktu itu.” Jawab Wahyu yang semakin membuatku malu.
“Iya kurang lebih begitu, Rin” Jawabku. Aku tidak sanggup mendeskripsikannya lebih jauh.
“Oh, begitu. Kedengarannya baik. Tapi menurutku, kalau kamu mecintai seseorang maka datangilah walinya. Kalau kamu tidak sanggup, maka jauhilah.” Rina menjawab dengan nada tegas. Jawabannya semakin menundukkan harapanku tentang Fatimah.
Kami berdua pun pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan aku memikirkan cara yang terbaik untuk aku, Fatimah dan tentunya untuk agamaku. Aku berencana untuk bertemu dengan Fatimah besok sore, mungkin dapat ku siasati sambil makan es krim agar tidak terkesan terlalu serius.
“Loh kok kamu rapih banget sama bawa tas besar? Mau kemana, Fat?” Tanyaku ketika melihat Fatimah datang dengan tas besar dipunggungnya.
“Hhm. Aku mau pergi, Fat ke rumah nenekku di Batam.”
“Oh mau berkunjung ke nenek kamu?”
“Engga,  aku mau tinggal disana sekaligus kuliah, InsyaAllah. Nenekku sudah tua jadi aku disuruh mamaku untuk menemaninya.” Jawabannya membuat jantungku berhenti berdetak untuk sesaat. Itu artinya ini mungkin menjadi kali terakhir aku bertemu Fatimah. Batam itu jauh dari Bogor.
Kami pun membeli es krim tetapi kali ini Fatimah memaksa untuk membayar dengan uangnya. Ia bilang ini sebagai balasan karena aku sering mentraktirnya. Kami segera memulai pembicaraan kami. Ku ceritakan semua tentang murabbi, teman SMPku, dan lain sebagainya. Fatimah pun semakin menampakan wajah mengertinya dan tersenyum.
“Oh begitu, di tempat liqoku malah katanya memakai emoticon untuk berkomunikasi dengan ikhwan dinilai tidak ahsan, Fat.” Fatimah menanggapi.
“Tuh kan, kamu ternyata udah banyak berubah. Aku ingin menjaga kamu, Fat. Bukan menjaga kamu dari orang lain, justru aku ingin menjaga kamu dari diri aku sendiri. Oh iya, kalau kamu suka sama seseorang lihat agamanya ya, Fat. Aku yakin kamu pasti berjodoh dengan orang baik-baik pula karena kamu bisa memilihnya. Kamu inget ngga, Fat? Waktu persiapan olimpiade Biologi dulu, kamu mengajari aku perilaku hewan burung Magnolia warbler yang selalu memilih jantan dengan kicauan terbaik, kamu ibarat burung itu, Fat.” Jawabku
“Haha, iya mungkin hampir sama, tapi aku bukan hanya memilih kicauannya. Aku juga mau memilih kemampuan navigasinya. Burung pejantan mana yang mampu membawaku ke arah yang benar.” Jawabnya dengan nada ceria.
Sugoi desu-ne, Masha Allah, hebat kamu ya. Oh iya, kamu pergi jam berapa nanti? Aku anterin ya ke sana?”
“Jadwal terbangnya jam 7 malam ini. Wah aku harus ke DAMRI jam 5 nih. Hhm Ngga usah, Fat. Aku mau dianterin Bapak aku. Jadi it’s gonna be fine, just relax, hhehe.” Fatimah beranjak dari tempat duduknya dan berdiri menunggu angkot. Terlihat kuat, mandiri, dan memiliki pendirian yang teguh. Aku tersadar dari lamunanku ketika Fatimah mengatakan angkotnya sudah dekat.
“Oh iya, Fat. Jangan pernah memendekkan kerudungmu yah.” Aku berteriak sambil melambaikan tanganku. Fatimah pun mengacungkan jempolnya.
Motorku segera kunyalakan segera ketika mobil yang dinaiki Fatimah sudah tidak terlihat lagi. Perjalanan pulang bagiku saat ini berlangsung sangat lama. Kendaraan yang berjalan disampingku seakan terhenti seluruhnya oleh sebuah mesin waktu bernamakan memori. Memori ini apakah pantas aku pikirkan? Atau lebih baik jika aku tidak memilikinya dari awal?. Tidak! Kupikir hidupku tidak akan berarti tanpa memori ini yang mengajarkanku memilih keputusan dengan bijaksana. Allah ingin menjadikanku nyaman dengan agama-Nya, menjadikanku memiliki sifat kreatif untuk menyelesaikan ujian-Nya. Apa jadinya aku ketika Allah memberiku ujian dengan wanita yang tidak baik? Atau apa jadinya aku ketika masalah ini berlangsung tak ada supply energi bernamakan mentoring dan sahabat-sahabat yang memberi nasihat kebaikan? Sungguh cerita ini ada berkat pertolongan Allah Yang Maha Penyayang. Tak sadar ternyata aku senyum-senyum sendiri sepanjang perjalanan.
Aku hanya ingin berpesan, Jangan pernah banyak berkomentar, jika itu perintah Allah. Cukup katakan, “Sami’na wa ato’na” (Aku dengar dan aku taat). Percayalah Allah akan membantu di setiap nafas hamba-Nya yang bertakwa.
Dan aku ingin mengucapkan, “Fatih yang dulu, terima kasih telah menjadi Fatih yang sangat disayangi oleh Fatih saat ini. Fatih saat ini teruslah berkembang agar membanggakan Fatih di masa yang akan datang.”


Sincerely, Fatih

0 komentar:

Posting Komentar

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html