Oleh : Alfiah Nur Hadist (Mahasiswa Program Keahlian Supervisor Jaminan Mutu Pangan Diploma IPB Angkatan 51)
Mashaa Allah.. Senyumannya, gumamku dalam hati.
“iya,
jadi Magnolia warbler itu jenis
burung yang memilih pasangan dengan cara memilih suara jantan yang terindah,”
Fatimah menjelaskan dengan nada riang.
“Oh
gitu, jadi betinanya selektif juga ya,” balasku dengan wajah ceria.
Angin
yang bertiup dari cela jendela menambah kesan damai dan sunyi ruang kelas yang
saat itu hanya dihuni kami berdua, Aku dan Fatimah. Langit seakan merayu kami
untuk tidak terjaga sore itu. Berbagai strategi kami siasati agar tidak
tertidur di ruangan ini. Iya, kami tidak boleh tertidur karena tiga hari lagi
olimpiade biologi akan terselenggarakan. Namun, pada akhirnya olimpiade ini
tidak hanya berkesan pengalaman belajar untuk berlomba tetapi juga meninggalkan
kenangan manis untuk hidupku.
Begini
ceritanya.
Oh
iya, sebelumnya aku akan memperkenalkan diriku. Namaku Fatih Abdullah,
teman-temanku selalu memanggilku Fatih, tetapi tidak sering mereka memanggilku
Abdul. Sekarang aku sedang menjalani studi di suatu perguruan tinggi negeri di
Bogor jurusan Biologi.
Aku
merupakan lelaki yang tak mudah jatuh cinta. Jujur saja sampai saat ini perempuan
yang pernah ku cintai selain ibuku, adikku, dan nenekku, hanya dua orang yaitu
Indri teman SDku dan Fatimah. Cerita ini bukan hanya sekedar cerita cinta
anak-anak remaja pada umumnya, ceritaku ini berbeda.
Kala
itu bus sekolah bergoyang ke kanan dan kiri menggoncang setiap makhluk yang ada
di dalamnya. Temanku, Risky dan Surya mereka malah asik bermain tebak-tebakan
rumus matematika, mereka tidak menyadari manusia di samping mereka sudah
membiru berkat goyangan heboh bus ini. Mulut dan hidungku sedang kritis menahan
bau dan rasa ingin muntah karena si lambung yang sedang giat memproduksi asam.
Akhirnya Risky sadar, aku merasa bebanku akan diringankan.
“Kamu
kenapa, Fatih? Kamu mabok?,” Ucap Risky dengan suara agak keras. Pertolongannya
yang kukira membantu malah membuatku semakin malu.
“Aah
Cuma pusing aja kok,”
“iih
serius Fat, tanganmu udah dingin loh?,” Jelas Surya, yang malah memperkeruh
harapanku untuk mengabaikan rasa mabukku.
Seketika
suara perempuan yang berasal dari bangku di depanku akhirnya menanggapi
kekisruhan ini.
“Kamu
pusing, Fat? nih aku ada minyak kayu putih, siapa tahu membantu. Kalo pusingnya
susah hilang, coba bayangkan yang kamu senangi saja, seperti naik mobil tanpa
atap mungkin, hehe,” Fatimah berbicara sambil tersenyum dan menyodorkan tangan
yang sedang memegang minyak kayu putih.
Tuh
kan, lagi-lagi senyuman itu menyejukkanku.
Rombongan
kami pun sampai di tempat olimpiade berlangsung. Antrian masuk sudah berbanjar
meliuk seperti ular yang ingin masuk ke sarangnya. Aku yang masih agak
terhuyung mabuk segera mendaftar ulang dan masuk ke ruang ujian. Ujian pun
berlangsung dengan lancar, tetapi untuk hasilnya aku serahkan seluruhnya kepada
Allah.
Setahun
telah berlalu dengan cepat, saat ini aktifitasku yang terpenting hanya makan,
tidur, beribadah (termasuk liqo, dsb), latihan taekwondo dan belajar karena
seminggu lagi ujian nasional yang menghabiskan 70% energi di otakku.
Ujian
nasional pun usai. Usainya ujian dapat ku analogikan seperti jantung yang dapat
berdetak kembali, meletus membuat muncratan bagai kembang api, dan terbebas
dari berbagai belenggu nurani. Walaupun waktu telah menyelesaikan segala
urusanku begitu saja, masih ada sumbatan kecil yang tak mampu kulepaskan dari
jantungku. Sepanjang malam kupikirkan hal itu.
“Fatimah,
kamu besok mau ke perpustakaan Smart ngga? Aku mau sekalian ngembaliin buku,”
Ku sms Fatimah. Mungkin ini sering dikatakan anak-anak modern jaman sekarang
sebagai ‘m o d u s’.
“Hhm,
pengen sih tapi aku sama Lia mau pergi makan bareng,”
Yah,
sirna sudah harapanku.
Keesokan
harinya aku pergi ke sekolah menemui teman-temanku, Surya dan Risky. Mereka
memang teman yang selalu berbagi denganku. Lebih tepatnya berbagi anime. Tak
kukira, ternyata Fatimah hari itu juga datang ke sekolah tapi dengan wajah yang
cemberut.
“Loh
kok kamu ngga pergi sama Lia?,” tanyaku sambil memainkan game di Hp Surya,
berpura-pura agak dingin.
“Hhm,
kamu pengen aku pergi ternyata!,” Jawabnya
“Eeh
bukan, maksudku kenapa kok kamu cemberut?,” seketika aku salah tingkah dan
membanting setir pertanyaanku.
“Hari
ini Lia ngga bisa pergi makan bareng, jadi aku sia-sia datang ke sekolah. Kamu
jadi ke perpus Smart, Fat?,”
“Hhm
jadi, emang kamu mau ikut?,” Lagi-lagi aku berusaha menahan ekspresiku. Risky
dan Surya sedang cengengesan menunggu
waktu yang tepat untuk ngecengin aku.
“Hayoo,
aku juga masih ada buku yang belum dikembalikan.” Jawab Fatimah.
Kami
pun pergi ke perpustakaan. Risky dan Surya melayangkan cengan mereka yang sedari tadi dibidiknya. “CIEEEEE”
Diperpustakaan,
sangat sedikit kami berbicara satu sama lain. Akhirnya kami pulang. Awalnya
kupikir ini waktu yang tepat untuk memberitahukannya perasaan ku tetapi hari
ini begitu dingin. Sewaktu di jalan, kami malah bertambah akrab dan banyak
melakukan perbincangan. Fatimah bercerita tentang ibunya yang dulu punya banyak
pacar, tidak seperti dirinya yang tidak pernah.
“Emang
kamu mau pacaran juga Fat?” Tanyaku. Karena kami memiliki nama panggilan yang
sama, aku merasa seperti menanyakannya kepada diriku sendiri.
“Hhm,
aku masih ngga tau, kalo kamu?”
“Aku
mau kalo sama kamu.” Tanyaku. Aduh, bodohnya aku.
“Haha..
aku pikir kamu bingung jawabnya, ternyata cepet banget. Kamu sugoi (hebat) ya bercandanya.”
“Aku
lagi ngga bercanda kok, Fat. Kamu mau ngga?” Aku semakin meyakinkan
pertanyaanku.
“Hhhm..
pacaran ya? Bukannya pacaran itu dosa? Selama ini aku memiliki kesan, kalau
orang pacaran itu tidak baik.” Jawabnya dengan nada perlahan.
“Oh
gitu, gimana kalo kita ubah namanya jadi bukan pacaran tapi kontrak. Kaya yang
di anime Chuunibyou, mereka dekat
tapi ngga pernah sentuhan ataupun ngomong kaya orang pacaran jadi terkesan
seperti sahabatan. Ya walau perasaan mereka lebih dari sahabat.” Jawabku
memberi solusi.
“Hhm
oke, teman kontrak”.
Aaaaaa,
lega rasanya hati ini. Seketika bunga-bunga merah muda dan jingga bertaburan ke
arah wajahku. Angin pun berusaha meniupkannya semakin lembut. Ya, Walaupun
hanya seperti sahabat, tapi aku sangat senang. Aku akan selalu berusaha untuk menjadi sahabat yang bisa
dibanggakan. Ganbarre-kudasai!
Kami
menjalani hari-hari dengan selalu berkomunikasi satu sama lain. Makan bersama,
nonton film, nonton anime, belajar bermain gitar di pinggir danau,
bercerita-cerita apapun, dsb. Semua itu ku rasakan sangat nyaman sampai suatu
ketika aku bertanya pada murabbi-ku.
“Kak
kalo kita dekat sama akhwat, tapi kita ngga pernah sentuhan atau pun ngomong
kaya pacaran, itu gimana ya kak?” Tanyaku penasaran. Ku pikir lebih baik ku
tanyakan dari pada tidak tahu sama sekali.
“Dekatnya
seperti apa? Sesungguhnya jika ikhwan dan akhwat yang bukan mahramnya berduaan
tanpa ada mahram si akhwat tersebut, itu namanya khalwat dan hukumnya haram.
Memang semua itu awalnya kita anggap biasa saja dan bukan hal yang serius. Tapi
tahukah kalian? Bahwasannya neraka itu dipagari syahwat dan kesenangan
sedangkan surga dikelilingi hal-hal yang tidak disukai (HR. Bukhari). Semua
hal-hal kecil yang salah jika disepelekan akan semakin menggunung dan akan
menimbulkan yang namanya fenomena gunung es. Zina dikira Cuma berasal dari hal
yang tiba-tiba terlaksana, bukan! sebenarnya zina berasal dari berdua-duan,
berkomunikasi terus menerus yang sebenarnya kurang penting. Bahkan rasulallah
pernah berkata, ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari
besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seseorang wanita yang tidak halal
baginya (HR. Ath-thabrani) sebegitunya rasul memberi peringatan waspada bagi
umatnya untuk menjauhi zina ” Jawabnya.
Oh
begitu. Sesak memang mendengarnya tetapi aku mau tidak mau harus mendengarnya.
Iya mentoring ini hampir tidak pernah sama sekali memberi hal yang buruk
bagiku. Setiap keluhanku selalu dijawabnya dengan merujuk Al-Qur’an dan Hadits.
Nasehat-nasehatnya bukanlah omong kosong yang tiada arti. Tetapi apa aku mampu
mengakhiri ini semua? Dan bagaimana caranya?. Ku pikir Fatimah juga telah
menyakan hal ini kepada murabbi-nya.
Keesokan
harinya merupakan pengumuman SNMPTN. Tak sabar aku ingin menanyakan hasil
SNMPTN Fatimah. Yang ku tahu ia memilih prodi yang cukup sulit.
“Assalamualaykum,
gimana Fat Kabar SNMPTN kamu? Sehat?” Tanyaku melalui sms.
“Hhm..
Alhamdulillah, Fat. Tidak diterima. Walaupun agak sedih tapi ya mau bagaimana
lagi. Kamu gimana, Fat? Wah pasti kamu diterima, secaraa nilai UN biologi kamu
9,5 tertinggi satu sekolah.”
“Iya
Alhamdulillahirabbil’alamiin. Diterima, Fat. Kamu sih kenapa ngga milih Biologi
aja, pasti kamu bakal diterima juga.” Jawabku mencoba untuk menghibur.
“Belum
tentu, Fat. Allah kan sudah menentukan jalan setiap hamba-Nya. Kamu memang
hebat di bidang Biologi dan Allah mungkin berencana membuat diri kamu semakin
baik di bidang itu. Allah suka ketika kamu berusaha dengan belajar dan
mengagungkan kekuasaan-Nya ketika kamu belajar Biologi. Sedangkan aku, mungkin
itu bukan jalan yang terbaik. Itu bukan hadiah yang pantas untukku dan bukan
pula ujian yang akan mampu aku kuasai. Mungkin saja kalau aku masuk sana, aku
akan menjadi sombong atau kufur nikmat. Naudzubillah. Jadi semangat ya, anak
IPB, hhehe” Di jawabannya tersurat kata-kata riang nan penuh motivasi sekaligus
tersirat hati yang sedih.
“Oke
siap, Fat. Kamu juga semangat ya. Aku yakin Allah juga sayang sama kamu.”
Jawabku.
Keesokan
harinya aku mengantar teman liqoku,
Wahyu menemui temannya. Kebetulan temannya adalah temanku juga saat SMP. Teman
SMPku ini wanita-wanita yang sekarang telah menjelma sebagai wanita solehah
berkerudung panjang. Iya begitulah kelihatannya. Kami sedikit
berbincang-bincang masalah agenda kegiatan organisasi temanku dan cerita-cerita
hidup yang telah kami lalui.
“Gimana
kabarnya, Fat? Sudah lama tidak betemu.” Tanya Rina, seorang gadis berkulit
putih yang dulunya ku kenal sebagai gadis berkulit cokelat.
“Iya,
Alhamdulillah luar biasa. Kamu gimana?” Jawabku.
“Ehem..
sebenarnya Fatih lagi patah hati, haha. Sedang dilema memilih tetap dekat
dengan wanita yang ia cintai atau memilih menjauhinya.” Wahyu memotong dengan
nada meledek. Akupun mendelik melihat ke arahnya.
“Oh..
aku Alhamdulillah baik. Wah ternyata Fatih ini perkembangannya pesat juga ya.
Wanita yang kamu dekati itu baik? Bagaimana agamanya, Fat?” Pertanyaan ini
membuat diriku semakin ‘gagal move on’
“Iya
baik, Rin. Cerdas, agamanya bagus, baik, manis apa lagi senyumannya. Itu kata
Fatih waktu itu.” Jawab Wahyu yang semakin membuatku malu.
“Iya
kurang lebih begitu, Rin” Jawabku. Aku tidak sanggup mendeskripsikannya lebih
jauh.
“Oh,
begitu. Kedengarannya baik. Tapi menurutku, kalau kamu mecintai seseorang maka
datangilah walinya. Kalau kamu tidak sanggup, maka jauhilah.” Rina menjawab
dengan nada tegas. Jawabannya semakin menundukkan harapanku tentang Fatimah.
Kami
berdua pun pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan aku memikirkan cara yang
terbaik untuk aku, Fatimah dan tentunya untuk agamaku. Aku berencana untuk
bertemu dengan Fatimah besok sore, mungkin dapat ku siasati sambil makan es
krim agar tidak terkesan terlalu serius.
“Loh
kok kamu rapih banget sama bawa tas besar? Mau kemana, Fat?” Tanyaku ketika
melihat Fatimah datang dengan tas besar dipunggungnya.
“Hhm.
Aku mau pergi, Fat ke rumah nenekku di Batam.”
“Oh
mau berkunjung ke nenek kamu?”
“Engga, aku mau tinggal disana sekaligus kuliah,
InsyaAllah. Nenekku sudah tua jadi aku disuruh mamaku untuk menemaninya.” Jawabannya
membuat jantungku berhenti berdetak untuk sesaat. Itu artinya ini mungkin
menjadi kali terakhir aku bertemu Fatimah. Batam itu jauh dari Bogor.
Kami
pun membeli es krim tetapi kali ini Fatimah memaksa untuk membayar dengan
uangnya. Ia bilang ini sebagai balasan karena aku sering mentraktirnya. Kami
segera memulai pembicaraan kami. Ku ceritakan semua tentang murabbi, teman SMPku, dan lain
sebagainya. Fatimah pun semakin menampakan wajah mengertinya dan tersenyum.
“Oh
begitu, di tempat liqoku malah
katanya memakai emoticon untuk
berkomunikasi dengan ikhwan dinilai tidak ahsan, Fat.” Fatimah menanggapi.
“Tuh
kan, kamu ternyata udah banyak berubah. Aku ingin menjaga kamu, Fat. Bukan
menjaga kamu dari orang lain, justru aku ingin menjaga kamu dari diri aku
sendiri. Oh iya, kalau kamu suka sama seseorang lihat agamanya ya, Fat. Aku
yakin kamu pasti berjodoh dengan orang baik-baik pula karena kamu bisa
memilihnya. Kamu inget ngga, Fat? Waktu persiapan olimpiade Biologi dulu, kamu
mengajari aku perilaku hewan burung Magnolia
warbler yang selalu memilih jantan dengan kicauan terbaik, kamu ibarat
burung itu, Fat.” Jawabku
“Haha,
iya mungkin hampir sama, tapi aku bukan hanya memilih kicauannya. Aku juga mau
memilih kemampuan navigasinya. Burung pejantan mana yang mampu membawaku ke
arah yang benar.” Jawabnya dengan nada ceria.
“Sugoi desu-ne, Masha Allah, hebat kamu
ya. Oh iya, kamu pergi jam berapa nanti? Aku anterin ya ke sana?”
“Jadwal
terbangnya jam 7 malam ini. Wah aku harus ke DAMRI jam 5 nih. Hhm Ngga usah,
Fat. Aku mau dianterin Bapak aku. Jadi it’s
gonna be fine, just relax, hhehe.” Fatimah beranjak dari tempat duduknya
dan berdiri menunggu angkot. Terlihat kuat, mandiri, dan memiliki pendirian
yang teguh. Aku tersadar dari lamunanku ketika Fatimah mengatakan angkotnya
sudah dekat.
“Oh
iya, Fat. Jangan pernah memendekkan kerudungmu yah.” Aku berteriak sambil
melambaikan tanganku. Fatimah pun mengacungkan jempolnya.
Motorku
segera kunyalakan segera ketika mobil yang dinaiki Fatimah sudah tidak terlihat
lagi. Perjalanan pulang bagiku saat ini berlangsung sangat lama. Kendaraan yang
berjalan disampingku seakan terhenti seluruhnya oleh sebuah mesin waktu
bernamakan memori. Memori ini apakah pantas aku pikirkan? Atau lebih baik jika
aku tidak memilikinya dari awal?. Tidak! Kupikir hidupku tidak akan berarti
tanpa memori ini yang mengajarkanku memilih keputusan dengan bijaksana. Allah
ingin menjadikanku nyaman dengan agama-Nya, menjadikanku memiliki sifat kreatif
untuk menyelesaikan ujian-Nya. Apa jadinya aku ketika Allah memberiku ujian dengan
wanita yang tidak baik? Atau apa jadinya aku ketika masalah ini berlangsung tak
ada supply energi bernamakan mentoring dan sahabat-sahabat yang
memberi nasihat kebaikan? Sungguh cerita ini ada berkat pertolongan Allah Yang
Maha Penyayang. Tak sadar ternyata aku senyum-senyum sendiri sepanjang
perjalanan.
Aku
hanya ingin berpesan, Jangan pernah banyak berkomentar, jika itu perintah
Allah. Cukup katakan, “Sami’na wa ato’na”
(Aku dengar dan aku taat). Percayalah Allah akan membantu di setiap nafas
hamba-Nya yang bertakwa.
Dan
aku ingin mengucapkan, “Fatih yang dulu, terima kasih telah menjadi Fatih yang
sangat disayangi oleh Fatih saat ini. Fatih saat ini teruslah berkembang agar
membanggakan Fatih di masa yang akan datang.”
Sincerely, Fatih
0 komentar:
Posting Komentar