Oleh : Dewi Mustika Rahayu (Mahasiswa Program Keahlian Komunikasi Diploma IPB Angkatan 51)
Bulan
telah datang bersama malam. Pagi dan siang sudah pergi semenjak tadi. Tapi
perempuan itu masih setia duduk di sudut sebuah masjid, meski acara liqo yang ia ikuti berakhir beberapa jam
yang lalu.
Perempuan
itu hanya mengingat kumandang adzan maghrib, yang mengantar sesosok lelaki
bertubuh tegap ke masjid tempatnya kini tengah berdiam.
Setiap
hari perempuan itu selalu menemukan sesosok lelaki bertubuh tegap, dengan wajah
tenang, tengah melepaskan sepatunya di pelataran masjid. Lantas sosok itu
menghilang, untuk kemudian muncul kembali, dengan rupa yang berbeda. Buliran
air yang menetes turun dari kening si lelaki, bahkan lengan kemejanya yang
terlipat hingga ke siku, rambut cepaknya yang basah oleh bekas wudu. Semuanya
seolah menyulap si lelaki berwajah tenang menjadi sosok imam idaman.
Perempuan
yang sedang duduk di sudut teras masjid itu tersipu.
Entah.
Mungkin sejak hari itu semuanya bermula. Karena kagum bisa jadi alasan kenapa
hati yang tadinya sepi mendadak suka berpuisi. Bahkan segala sesuatu yang
awalnya biasa, kini terasa drama dan berbau romansa.
“Jatuh
cinta itu bukan dosa.” Kata murobbinya sore tadi.
Si
perempuan mengangguk-angguk setuju. Kemudian muncul sekilas bayangan lelaki
berwajah tenang. Lantas bibirnya tersenyum malu-malu.
“Dosa
itu apa?” kali ini sang murobbi bertanya. Membuat peserta liqo yang beranggotakan lima orang mahasiswi itu saling
berpandangan. Ingin menjawab tapi hanya lemparan lirik yang bisa diisyaratkan.
“Dosa
adalah hal yang menyebabkan hati bimbang dan cemas, meski banyak orang
mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan.”[1]
Si
perempuan merenungi kata-kata sang murobbi, sebelum akhirnya acara liqo yang diadakan setiap dua kali
seminggu itu ditutup dengan doa. Kemudian petang hadir menyapa, menjadi latar
masjid kampus yang kini hanya berisikan beberapa orang mahasiswa.
Katanya,
sesuatu yang datang terburu-buru itu tidak baik. Katanya pula, sesuatu yang
diburu-buru itu hasilnya sebagian besar mengecewakan. Betulkah? Mengapa?
Mungkin karena orang yang buru-buru dan memburu
itu lupa kalau segala sesuatu ada waktunya. Ada saatnya ia perlu berkenalan
dengan sabar. Ada pula ketika ia butuh untuk memeluk erat ikhlas.
Sore
ini, seorang perempuan berjilbab hendak mendatangi masjid kampus layaknya
hari-hari yang telah berlalu. Meski tak ada jadwal liqo, kakinya tetap melangkah riang menapaki jalanan yang dipagari
pepohonan rindang. Sementara belum separuh jalan ditempuhnya. Mata perempuan
itu membulat indah, mengikuti satu sosok yang sudah lama ia puja dalam diam.
Seorang
lelaki bertubuh tegap dan berwajah tenang berdiri beberapa blok dari tempatnya.
Dengan tas ransel hitam dan kaus berkerah, sosok itu diam di depan gedung
sebuah fakultas yang terlihat sepi.
Perempuan
itu lantas memperlambat laju sepatu miliknya. Entah keinginan darimana yang
muncul secara tiba-tiba. Ia ingin mengamati lelaki tanpa nama itu dengan lebih
seksama. Memperhatikan setiap inci gerakan si lelaki yang membuat hatinya
serasa ditarik hingga jatuh ke sebuah ruang bernama cinta.
Jatuh cinta itu bukan dosa. Si perempuan
meyakinkan dirinya sendiri. Masih dengan tatapan memuja sesosok lelaki yang tak
pernah dia sapa maupun menyapanya.
Hanya
beberapa menit saja si perempuan bisa memastikan hatinya masih baik-baik saja,
sebelum akhirnya sosok lelaki yang berdiri tak jauh darinya pergi.
Bukan.
Bukan pergi yang membuatnya luka, melainkan sosok perempuan lain yang muncul
secara tiba-tiba. Lelaki itu tampak bersorak ketika seorang perempuan berambut
panjang datang menghampirinya. Si lelaki mengacak-acak rambut wanita di
sebelahnya mesra, kemudian pergi bersama, bergandengan tangan. Mereka tampak gembira,
tanpa tahu ada seorang perempuan lain yang sedari tadi hanya bisa membisu,
dengan segala angan yang sudah tak terukur berapa mili panjangnya.
Perempuan
berjilbab itu mungkin terlihat masih berdiri tegak di tepian jalan.
Namun
tidak dengan batinnya.
Hanya
ia yang tahu. Betapa menyedihkan kekaguman yang sudah ditenunnya dengan
sukacita itu kini berakhir tanpa rupa. Tanpa pernah terpintal sempurna. Tak
menghasilkan apa-apa, selain rasa hampa yang kini bergumpal-gumpal memenuhi
hatinya. Bak air keruh yang pekat dan pahit.
Bulan
kembali datang mengantar petang. Sore telah beranjak pergi menyusul siang dan
pagi.
Tak
ada yang lebih merdu dari suara muadzin
yang menyerukan kalimat kemenangan; “Hayya
‘alal-falaah!”
Perempuan
itu berjalan dengan langkah lambat. Seolah mencari tempat yang bisa
dijadikannya perhentian.
Jika
dosa adalah hal yang menyebabkan hati bimbang dan cemas. Maka ia takut
kalau-kalau rasa yang pernah mampir di hatinya telah membuat setitik noda, yang
kian lama kian melebar menjadi dosa.
Perempuan
itu mendadak menggigil karena menyadari sesuatu. Jatuh cinta itu bukan dosa. Memang bukan! Ujarnya dalam hati. Tapi ia bisa menjadi noda jika tak kau jaga
dengan pemahaman agama!
Perempuan
itu menangis. Tanpa tahu apa yang telah membuatnya menangis. Mungkin ia kini
mengerti, bahwa banyak hal yang sudah sepatutnya ia paham dan renungi, termasuk
urusan hati. Bahwa pengharapan yang tak disandarkan pada Sang Maha Kekal adalah
awal mula kekecewaan.
Bulan
tampak tenang bersisian dengan malam.
Sepatu
perempuan itu kembali menapaki jalan yang berpagar pepohonan. Ia meneruskan
langkahnya yang tadi sempat terhenti. Tujuannya adalah tempat yang sama seperti
hari-hari lalu. Namun bukan lagi pertemuan dengan seseorang yang ia cari,
melainkan hal lain yang akan membuat hatinya merasa terobati.
Perempuan
itu pergi.
Ia
ingin sekali menempelkan keningnya di atas rumah Ilahi.
Karena
dirinya kini sudah tak begitu peduli, dengan hal yang tak bisa dibawanya mati.
0 komentar:
Posting Komentar