Rabu, 11 Mei 2016

SAAT BULAN MENGANTAR MALAM

0

Oleh : Dewi Mustika Rahayu (Mahasiswa Program Keahlian Komunikasi Diploma IPB Angkatan 51)

            Bulan telah datang bersama malam. Pagi dan siang sudah pergi semenjak tadi. Tapi perempuan itu masih setia duduk di sudut sebuah masjid, meski acara liqo yang ia ikuti berakhir beberapa jam yang lalu.
            Perempuan itu hanya mengingat kumandang adzan maghrib, yang mengantar sesosok lelaki bertubuh tegap ke masjid tempatnya kini tengah berdiam.
            Setiap hari perempuan itu selalu menemukan sesosok lelaki bertubuh tegap, dengan wajah tenang, tengah melepaskan sepatunya di pelataran masjid. Lantas sosok itu menghilang, untuk kemudian muncul kembali, dengan rupa yang berbeda. Buliran air yang menetes turun dari kening si lelaki, bahkan lengan kemejanya yang terlipat hingga ke siku, rambut cepaknya yang basah oleh bekas wudu. Semuanya seolah menyulap si lelaki berwajah tenang menjadi sosok imam idaman.
            Perempuan yang sedang duduk di sudut teras masjid itu tersipu.
            Entah. Mungkin sejak hari itu semuanya bermula. Karena kagum bisa jadi alasan kenapa hati yang tadinya sepi mendadak suka berpuisi. Bahkan segala sesuatu yang awalnya biasa, kini terasa drama dan berbau romansa.
           
            “Jatuh cinta itu bukan dosa.” Kata murobbinya sore tadi.
            Si perempuan mengangguk-angguk setuju. Kemudian muncul sekilas bayangan lelaki berwajah tenang. Lantas bibirnya tersenyum malu-malu.
            “Dosa itu apa?” kali ini sang murobbi bertanya. Membuat peserta liqo yang beranggotakan lima orang mahasiswi itu saling berpandangan. Ingin menjawab tapi hanya lemparan lirik yang bisa diisyaratkan.
            “Dosa adalah hal yang menyebabkan hati bimbang dan cemas, meski banyak orang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan.”[1]
            Si perempuan merenungi kata-kata sang murobbi, sebelum akhirnya acara liqo yang diadakan setiap dua kali seminggu itu ditutup dengan doa. Kemudian petang hadir menyapa, menjadi latar masjid kampus yang kini hanya berisikan beberapa orang mahasiswa.

            Katanya, sesuatu yang datang terburu-buru itu tidak baik. Katanya pula, sesuatu yang diburu-buru itu hasilnya sebagian besar mengecewakan. Betulkah? Mengapa?
Mungkin karena orang yang buru-buru dan memburu itu lupa kalau segala sesuatu ada waktunya. Ada saatnya ia perlu berkenalan dengan sabar. Ada pula ketika ia butuh untuk memeluk erat ikhlas.            
            Sore ini, seorang perempuan berjilbab hendak mendatangi masjid kampus layaknya hari-hari yang telah berlalu. Meski tak ada jadwal liqo, kakinya tetap melangkah riang menapaki jalanan yang dipagari pepohonan rindang. Sementara belum separuh jalan ditempuhnya. Mata perempuan itu membulat indah, mengikuti satu sosok yang sudah lama ia puja dalam diam.
            Seorang lelaki bertubuh tegap dan berwajah tenang berdiri beberapa blok dari tempatnya. Dengan tas ransel hitam dan kaus berkerah, sosok itu diam di depan gedung sebuah fakultas yang terlihat sepi.
            Perempuan itu lantas memperlambat laju sepatu miliknya. Entah keinginan darimana yang muncul secara tiba-tiba. Ia ingin mengamati lelaki tanpa nama itu dengan lebih seksama. Memperhatikan setiap inci gerakan si lelaki yang membuat hatinya serasa ditarik hingga jatuh ke sebuah ruang bernama cinta.
            Jatuh cinta itu bukan dosa. Si perempuan meyakinkan dirinya sendiri. Masih dengan tatapan memuja sesosok lelaki yang tak pernah dia sapa maupun menyapanya.
            Hanya beberapa menit saja si perempuan bisa memastikan hatinya masih baik-baik saja, sebelum akhirnya sosok lelaki yang berdiri tak jauh darinya pergi.
            Bukan. Bukan pergi yang membuatnya luka, melainkan sosok perempuan lain yang muncul secara tiba-tiba. Lelaki itu tampak bersorak ketika seorang perempuan berambut panjang datang menghampirinya. Si lelaki mengacak-acak rambut wanita di sebelahnya mesra, kemudian pergi bersama, bergandengan tangan. Mereka tampak gembira, tanpa tahu ada seorang perempuan lain yang sedari tadi hanya bisa membisu, dengan segala angan yang sudah tak terukur berapa mili panjangnya.
            Perempuan berjilbab itu mungkin terlihat masih berdiri tegak di tepian jalan.
            Namun tidak dengan batinnya.
            Hanya ia yang tahu. Betapa menyedihkan kekaguman yang sudah ditenunnya dengan sukacita itu kini berakhir tanpa rupa. Tanpa pernah terpintal sempurna. Tak menghasilkan apa-apa, selain rasa hampa yang kini bergumpal-gumpal memenuhi hatinya. Bak air keruh yang pekat dan pahit.
           
            Bulan kembali datang mengantar petang. Sore telah beranjak pergi menyusul siang dan pagi.
            Tak ada yang lebih merdu dari suara muadzin yang menyerukan kalimat kemenangan; “Hayya ‘alal-falaah!”
            Perempuan itu berjalan dengan langkah lambat. Seolah mencari tempat yang bisa dijadikannya perhentian.
            Jika dosa adalah hal yang menyebabkan hati bimbang dan cemas. Maka ia takut kalau-kalau rasa yang pernah mampir di hatinya telah membuat setitik noda, yang kian lama kian melebar menjadi dosa.
            Perempuan itu mendadak menggigil karena menyadari sesuatu. Jatuh cinta itu bukan dosa. Memang bukan! Ujarnya dalam hati. Tapi ia bisa menjadi noda jika tak kau jaga dengan pemahaman agama!
            Perempuan itu menangis. Tanpa tahu apa yang telah membuatnya menangis. Mungkin ia kini mengerti, bahwa banyak hal yang sudah sepatutnya ia paham dan renungi, termasuk urusan hati. Bahwa pengharapan yang tak disandarkan pada Sang Maha Kekal adalah awal mula kekecewaan.
            Bulan tampak tenang bersisian dengan malam.
            Sepatu perempuan itu kembali menapaki jalan yang berpagar pepohonan. Ia meneruskan langkahnya yang tadi sempat terhenti. Tujuannya adalah tempat yang sama seperti hari-hari lalu. Namun bukan lagi pertemuan dengan seseorang yang ia cari, melainkan hal lain yang akan membuat hatinya merasa terobati.
            Perempuan itu pergi.
            Ia ingin sekali menempelkan keningnya di atas rumah Ilahi.
            Karena dirinya kini sudah tak begitu peduli, dengan hal yang tak bisa dibawanya mati.



[1] HR. Ahmad, Ath-Thabrani, dan Al Baihaqi

0 komentar:

Posting Komentar

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html